Post Traumatic Stress
Disorder umumnya disebabkan oleh cedera serius yang dirasakan dari
kematian, atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain
yang dapat menyebabkan penyakit yang berpotensi kronis dan melemahkan, yang
disebut dengan gangguan Post Traumatic Stress
Disorder (levers, 2012) Post Traumatic
Stress Disorder ditandai dengan sekelompok gejala yang mencakup pikiran
yang terus menerus terganggu, penghindaran, dan hyperarousal.
Klasifikasi umum jenis trauma psikologis atau fisik yang
dapat menginduksi Post Traumatic Stress Disorder
mencakup penyalahgunaan (mental, fisik, seksual, atau lisan), bencana
(kecelakaan, bencana alam, atau terorisme), serangan kekerasan (kekerasan,
perkosaan, atau baterai), dan eksposur (obyek yang rentan terhadap resiko).
Perkiraan prevalensi seumur hidup dari pengidap Post Traumatic Stress Disorder pada populasi orang dewasa umum di
Amerika Serikat adalah 1% - 12% (Lange, J., Lange, C., & Cabaltica, 2000;
Yehuda, 2004), dengan perkiraan 30% dari pria dan wanita yang telah didiagnosis
dengan gangguan tersebut (Kessler, Sonnega, Bromet, Hughes, & Nelson,
1995;. Kulka et al, 1990).
Penanganan Post Traumatic
Stress Disorder ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita
Post Traumatic Stress Disorder, yaitu
dengan 7 menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi
dapat berupa terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang
sudah dikenal. Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah
kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan kegiatan sehari-hari
klien. dalam exposure therapy, para terapis membantu menghadapi situasi yang
khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan
menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam kehidupannya.
Selain dari metode pangananan yang telah disebutkan di atas, Post Traumatic Stress Disorder juga dapat ditangani dengan metode bermain atau Play Therapy yang biasa diterapkan dalam upaya penanganan anak penderita Post Traumatic Stress Disorder. Dan juga penerapan Mindfulness Based Cognitive Therapy yang bertujuan untuk mengurangi jumlah kenangan generik atau kenangan yang berulang. Contoh dari penerapan kedua metode di atas salah satunya adalah dengan bermain game Tetris.
Tetris adalah game bergenre arcade yang populer pada
tahun 90 - an bahkan sampai sekarang. Game ciptaan Alexy Panjitnov ini merupakan
game puzzle bertajuk game tile - matching yang bertujuan untuk menyusun
berbagai bentuk geometrik yang disebut “tetriminos” sehingga menjadi satu
kesatuan garis lurus. Meskipun terdengar sangat sederhana untuk dimainkan,
ternyata tetris memiliki tingkat kesulitan yang tinggi sehingga membutuhkan
konsentrasi yang sangat tinggi untuk bisa menyelesaikan permainan nya tanpa
kesalahan.
Tetris juga berguna pada pengobatan Post Traumatic Stress Disorder. Pengidap gangguan ini akan memiliki kesulitan untuk
melupakan trauma atau malah tidak bisa ingat pada kejadian tersebut. Para
peneliti menyimpulkan bahwa area untuk pemprosesan visuospatial di otak juga
merupakan area penting yang digunakan dalam bermain Tetris. Ahli psikologi Profesor Emily Holmes dari University
of Karolinska telah bertahun-tahun mengeksplorasi manfaat medis dari tetris.
Prof Emily mengatakan permainan tetris bisa sangat kuat melibatkan kemampuan
memori visual sehingga bisa dipakai seperti untuk mencegah kondisi Post Traumatic Stress Disorder.
Dalam studi yang
dipublikasi dalam jurnal Molecular Psychiatry, Prof Emily membuktikannya dengan
melakukan eksperimen pada 71 pasien kecelakaan di rumah sakit. Mereka diminta
untuk membayangkan kecelakaan yang baru saja dialami lalu kemudian bermain tetris.
Setelah 20 menit bermain, para pasien sudah
cukup terdistraksi sehingga memori kecelakaan tidak lagi terbentuk di otaknya.
Setelah paparan suatu
peristiwa, jejak memori peristiwa itu harus dikonsolidasikan ke dalam memori
jangka panjang agar dapat diakses untuk recall nanti. Tak lama setelah
peristiwa tersebut, jejak memori tetap dalam keadaan labil karena
terkonsolidasi, dan rentan terhadap
interferensi. Melakukan tugas yang tidak terkait sementara memori untuk suatu
peristiwa berada dalam keadaan labil dapat mengurangi pengambilan berikutnya. Selain
itu, telah diusulkan bahwa setelah reaktivasi, memori kembali memasuki keadaan
labil dan harus dikonsolidasikan kembali menjadi memori jangka panjang. Selama
proses rekonsolidasi ini, jejak memori juga rentan terhadap gangguan.
Dengan memanfaatkan kondisi memory otak yang labil
tersebut, maka pemprosesan visuospatial di otak
yang awalnya secara berulang - ulang menampilkan kejadian atau peristiwa yang
membuat mereka mengidap Post Traumatic
Stress Disorder mejadi secara berulang - ulang menampilkan balok – balok tetris.
Hal ini terjadi karena memainkan tetris selama 20 menit tersebut membutuhkan tingkat
konsentrasi yang tinggi, sehingga memory otak para pengidap Post Traumatic Stress Disorder yang
memainkan game ini memproses secara menyuluruh kejadian visual yang terjadi
dalam game tetris ini.
Bentuk – bentuk balok tetris atau tetriminos menjadi
salah satu penyebab memory otak visual dapat mengingat game ini lebih jelas
daripada kejadian atau peristiwa yang awalnya membuat mereka mengidap Post Traumatic Stress Disorder. Bentuk tetrimino
berasal dari 7 huruf yaitu huruf I, O, T, S, Z, J, dan L. Setelah mengalami pembaruan versi, dimana pada versi terbaru game
tetris memiliki warna – warna yang berbeda pada setiap bentuk balok tetriminos.
Warna yang dipakai pada balok tetriminos merupakan warna – warna yang mencolok
seperti warna biru muda untuk bentuk tetrimino I, warna kuning untuk bentuk tetrimino O, warna ungu untuk bentuk tetrimino T, warna hijau untuk bentuk tetrimino S, warna merah untuk bentuk tetrimino Z, warna biru tua untuk bentuk tetrimino J, dan warna oranye untuk bentuk tetrimino L. Warna
– warna tersebut menjadi efek visual yang membuat memory otak mengingat dengan
jelas bentuk – bentuk visual dari balok tetrimino dan melupakan peristiwa atau
kejadian yang membuat mereka mengalami Post
Traumatic Stress Disorder.
Gameplay dari tetris sendiri sangat mudah, sehingga semua
orang dapat dengan mudah memainkan game ini. Kemudahan dalam bermain game tetris
dapat memberikan efek rasa senang dan gembira kepada para player yang memainkan
game ini. Efek rasa senang dan gembira ketika mamainkan game ini dapat
memudahkan orang penderita Post Traumatic
Stress Disorder menurunkan ingatan tentang trauma yang dialami nya secara
perlahan. Penderita Post Traumatic Stress
Disorder yang memainkan game tetris
selama 20 menit mengalami penurunan pada rasa stress yang dialaminya
dibandingkan dengan penderita Post Traumatic
Stress Disorder yang ditangani
dengan metode terapi lain yang masih mengandalkan pendakatan psikologis.
Dapat diambil kesimpulan bahwa Intervensi saat ini untuk Post Traumatic Stress Disorder memiliki sejumlah keterbatasan sehubungan
dengan tingkat respons dan kemanjuran jangka panjang, dan ada kebutuhan yang
signifikan untuk intervensi terapeutik tambahan yang dapat bertindak sebagai
tambahan untuk psikoterapi tradisional. Dengan demikian, bermain tetris dapat
menjadi salah satu alternatif untuk melakukan terapi penyembuhan memory otak pada
pengidap Post Traumatic Stress Disorder.
0 komentar
Posting Komentar